selamat datang
wellcome di peluang & spirit
Sabtu, 14 Januari 2012
Keruk Keuntungan Dari Ribuan Olahan Ubi Jalar
Salah satu kendala dalam melakukan diversifikasi pangan adalah kebergantungan pada pangan tertentu, seperti beras, yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan potensi pangan tradisional seakan-akan belum mendapatkan tempat bagi konsumen tersebut. Apalagi, bagi kalangan tertentu memanfaatkan makanan tradisional terkadang dianggap terbelakang di tengah banjirnya makanan berlabel impor. Padahal, dari kandungan gizi sebenarnya tidak jauh berbeda dan harganya pun relatif lebih murah.
Sebaliknya pola konsumsi di beberapa negara maju justru terjadi kontradiksi dengan di Indonesia. Konsumen tertentu justru lebih tertarik dengan jenis-jenis makanan tradisional. Tidak jarang, makanan tersebut berasal dari negara lain namun diolah menjadi menarik.
Pola konsumsi seperti ini menyebabkan upaya mendorong pengembangan pangan tradisional cukup sulit. Salah satu cara yang harus dilakukan adalah melakukan variasi produk atas makanan tradisional, meningkatkan pemanfaatan produk olahan atau menjadi suplemen pada produk lainnya.
Di sisi lain pemerintah dan pihak-pihak terkait harus gencar melakukan kampanye untuk memperkenalkan potensi pangan lokal tersebut. Minimnya informasi tersebut menyebabkan potensi bisnis dan peningkatan produktivitas atas produk makanan tradisional hanya dilirik kalangan terbatas.
Ubi jalar atau Ipomoea batatas L sebenarnya menyimpan potensi yang besar baik sebagai pangan alternatif maupun pengembangan potensi bisnis. Harganya juga relatif murah yaitu antara Rp 500 dan Rp 600 per kilogram (kg). Harga ini sangat terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Produk olahan yang dapat diperoleh dari ubi jalar di antaranya adalah tepung pati, keripik, selai, saus, sirup dan alkohol. Ubi jalar dalam jumlah tertentu juga dapat menjadi substitusi dalam pengolahan tepung terigu. Harus diakui, selama ini sebagian besar masyarakat Indonesia hanya mengolah ubi jalar secara tradisional yakni dengan menggoreng, merebus ataupun dikukus. Data yang ada menyebutkan rata-rata tingkat konsumsi pada 1998 hanya mencapai 8,36 kg per tahun per kapita.
Tepung pati yang merupakan produk setengah jadi dari ubi jalar dapat digunakan sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan kembang gula, es krim, roti, kue dan beberapa minuman sirup. Di Jepang, tepung pati tersebut menjadi salah satu bahan baku pengolahan sirup glukosa dan sirup fruktosa.
Sedangkan di Amerika Serikat, ubi jalar digunakan sebagai bahan baku dalam industri lem, fermentasi, tekstil, farmasi dan kosmetik. Secara umum, ubi jalar sebenarnya menyimpan potensi sebagai pangan alternatif dan juga menguntungkan dari segi bisnis.
Dilihat dari produksi, pada tahun 2000 Indonesia hanya menghasilkan 1,2 persen dari total produksi ubi jalar dunia. Data Departemen Pertanian (Deptan) menyebutkan bahwa pada 2003 diperkirakan kebutuhan nasional mencapai 2.170.426 ton dengan produksi mencapai 2.753.356. Pada 2004 diprediksikan kebutuhan ubi jalar mencapai 2,2 juta ton.
Produktivitas ubi jalar pun masih sangat rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara lain yakni rata-rata 98,79 kwintal per hektare (ha) atau sekitar 9,8 ton per ha. Padahal, potensi peningkatan produktivitas tersebut masih dapat ditingkatkan mencapai 30-40 ton per ha. Sedangkan Cina telah mencapai 208,58 kwintal per ha, dan Jepang adalah 247,33 kwintal per ha.
Potensi
Sekalipun masih fluktuatif, peluang ekspor ubi jalar sebenarnya masih terbuka lebar jika produktivitas dan kualitas ditingkatkan. Hal ini disebabkan permintaan pasar untuk kebutuhan pengolahan makanan dan industri masih cukup tinggi. Malaysia, Singapura, Jepang, Taiwan dan Amerika Serikat merupakan pasar untuk melakukan ekspor ubi jalar maupun produk olahannya.
Tidak hanya peluang ekspor yang cukup tinggi. Keuntungan dalam usaha tani ubi jalar juga cukup menjanjikan. Analisis usaha yang dilakukan justru terdapat rasio biaya dan pendapatan sebesar 2,94. Artinya masih terdapat keuntungan atas usaha tersebut pada luas lahan yang optimal.
Gambaran keuntungan tersebut didukung dengan kemudahan dalam pengelolaan ubi jalar yakni sekitar 3,5 bulan. Umur tersebut umumnya relatif lebih pendek dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain. Selain itu terdapat beberapa jenis varietas ubi jalar yang memiliki kekhasan tersendiri dan dapat disesuaikan dengan permintaan pasar.
Jika dilihat dari aspek lahan, ubi jalar juga tidak terlalu sulit dan masih sangat luas. Pada lahan kering atau ladang, ubi jalar dapat dibudidayakan melalui model tumpang sari. Bisa juga ditanam setelah panen komoditas utama. Hampir sebagian besar wilayah pertanian merupakan lahan yang cocok untuk pengembangan ubi jalar.
Gambaran sederhana di atas setidaknya menjadi kesadaran semua pihak untuk mengembangkan potensi pangan tradisional. Tidak saja sebagai potensi pangan alternatif tetapi juga perlu mendorong potensi bisnis atas komoditas tersebut. Paling tidak, potensi bisnis tersebut akan mendorong petani lokal untuk lebih meningkatkan produktivitas.
Pada akhirnya tidak saja petani dan pedagang yang mendapatkan keuntungan, tetapi juga kalangan industri pengolahan untuk mengoptimalkan produksi ubi jalar yang ada. Ketika produksi berlebihan dan harga anjlok, dunia usaha pun akan memikirkan pemanfaatan produk olahan ubi jalar.
Tentu lebih jauh dari itu perlu dipikirkan secara matang kelembagaan yang kuat agar "gebyar" ubi jalar tidak hanya menempatkan petani sebagai produsen yang terjepit dunia usaha. Sebagian besar fakta sudah menunjukkan hal tersebut dan perlu segera dibenahi secara mendasar.
Makanan ringan keripik singkong mungkin sudah sering kita jumpai, tetapi keripik ubi jalar merupakan makanan yang belum begitu banyak. Meski demikian bukan berarti keripik ubi jalar memiliki cita rasa yang tidak kalah dengan keipik lainnya. Kondisi ini membuat peluang usaha pembuatan dan penjualan keripik ubi jalar terbuka lebar. Dengan berbagai macam variasi model dan rasa keripik ubi jalar dan kemasan yang menarik, keripik ubi jalar dapat menembus pasar yang lebih luas. Dengan demikian peluang bisnis keripik ubi jalar dapat menjadi alternatif bagi siapa saja yang berminat. Bisnis keripik ubi jalar bisa dimulai dengan proses pembuatan ( memasak ), proses pengemasan dan proses pemasaran.
Biasanya keripik ubi jalar diproduksi oleh industri kecil rumah tangga, sehinga penetrasi pasar produk ini masih sangat terbatas. Akan tetapi dengan pembuatan dan pengemasan yang lebih baik bisnis usaha keripik ubi jalar bisa mendatangkan keuntungan yang lumayan.
Proses membuat keripik Ubi Jalar
Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat keripik ubi jalar adalah sebagai berikut:
1.Ubi jalar.
2. Larutan kapur sirih.
3. Larutan natrium bisulfit 500 ppm.
4. Minyak goreng.
Peralatan yang dibutuhkan untuk membuat keripik ubi jalar adalah sebagai berikut:
1. Pengiris umbi.
2. Pisau dan talenan
3. Kuali
4. Baskom atau ember.
5. Keranjang peniris.
Cara pembuatan Keripik Ubi Jalar
1. Pengupasan dan pengirisan. Umbi dicuci, kemudian dikupas. Umbi yang telah dikupas, tapi tidak langsung diproses lebih lanjut harus direndam di dalam air. Setelah itu umbi diiris tipis-tipis.
2. Perendaman di dalam larutan natrium bisulfit dan kapur. Irisan umbi direndam di dalam larutan natrium bisulfit 500 ppm selama 60 menit.Kemudian irisan umbi diangkat, dan direndamkan ke larutan kapur sirih 2% selama 30 menit. Setelah itu, irisan umbi ditiriskan.
3. Pemasakan ringan. Air dipanaskan sampai suhu 90°C. Ke dalam dimasukkan garam (10 gram garam untuk 1 liter air). Kemudian iris umbi yang telah ditiriskan dimasukkan ke dalam air tersebut, dan diaduk pelanpelan. Tidak lama kemudian (1-2 menit), irisan umbi segera diangkat dan ditiriskan.
4. Pengeringan. Irisan umbi dijemur, atau dikeringkan dengan alat pengering sampai cukup kering dengan tanda mudahnya umbi patah jika diremas.
5. Penggorengan. Irisan umbi digoreng di dalam minyak panas (170°C) sampai garing.
6. Penggulaan. Untuk mendapatkan keripik manis, lakukan penggorengan diulang. Kedalam minyak agak panas (suhu 110°C) dimasukkan gula halus (50 gram gula untuk setiap 1 liter minyak), da diaduk agar gula mencair. Setelah itu, keripik yang telah garing dimasukkan ke dalam minyak, diaduk dengan pelan, dan segera diangkat untuk ditiriskan dan didinginkan.
7. Pengemasan. Keripik matang harus disimpan pada wadah tertutup. Keripik dapat dikemas di dalam kantong plastik, atau kotak kaleng. Kemasan harus ditutup rapat sehingga tidak dapat dimasuki oleh uap air dan udara luar.
Keripik ubi jalar yang sudah dikemas dengan kemasan yang baik siap dipasarkan. Peluang bisnis terbuka.
Upaya mendorong adopsi inovasi kacang-kacangan dan umbi-umbian yang dilaksanakan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang mulai diterapkan oleh masyarakat, dan mulai mendapat dukungan Pemerintah Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Djuwariah (32) dan Buti Suryani (30), dua dari 46 peserta pelatihan Produk Olahan Pangan berbahan baku ubijalar dan ubikayu yang dilaksanakan di Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) Tuban, akhir tahun lalu, kini mulai memproduksi dan memasarkan produk olahan dari ubijalar dan ubikayu. Di samping itu, kelompok wanita yang dimotori dua warga ini mulai mengunduh bantuan dana, dan upaya lain berupa pengembangan budi daya ubijalar ungu sebagai untuk bahan baku.
Sebulan setelah pelatihan, Mbak Dju, panggilan akrab Djuwariah, dan bu Buti mulai mencoba di rumah dan memasarkan produk olahan dari umbi-umbian. Keduanya merupakan ibu rumah tangga di Desa Sambungrejo Kec. Merakurak Kab Tuban. Awalnya hanya onde-onde, kemudian merambah kue lainnya seperti bronis, kue marmer, kue mangkok, bolu kukus, wingko, cake tape, singkong keju, dan keripik. Semua resepnya diperoleh saat pelatihan yang dilaksanakan oleh Balitkabi.
Bahan utama diperoleh dari ubi jalar, ubi kayu dan terigu. Kulit onde-onde dibuat dari ubi jalar ungu, tepung ketan, dan kanji; dan isinya dari kacang hijau yang kadang disosoh kadang tidak. Karena tidak mempunyai alat penyosoh, keduanya masih menggunakan alat tradisional lumpang dan alu. Pembuatan adonan/ulenan untuk kue yang mereka buat juga sederhana, dengan diaduk biasa dengan tangan. "Jadi masih kurang rata adonannya", kata Mbak Dju. "Andaikan dengan blender mungkin lebih rata, lebih mengembang, dan menarik teksturnya. Namun kami belum punya dana", imbuh bu Buti.
Tak puas dengan apa yang diperoleh dari pelatihan di BP2KP, Mbak Dju, bu Buti, dan Suntomo (Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa - LPMD), meminta bantuan pak Sholeh, Ketua UP FMA (Unit Pengelola Kegiatan Penyuluhan di Tingkat Petani, organisasi petani bentukan FEATI) Desa Sembungrejo untuk sekali lagi mengundang Ir. Erliana Ginting, MSc. beserta tim dari Laboratorium Pangan Balitkabi untuk melatih Kelompok mereka. Hingga akhirnya terselenggara pelatihan produk olahan pangan berbasis umbi-umbian di Desa Sambungrejo, pada awal Februari 2009.
Mbak Dju awalnya hanya memasarkan onde-onde di sekitar rumah mereka, dan sebagian dibawa ke Taman Kanak-Kanak tempat ia mengajar di Merakurak. Order dan jenis yang kue ditawarkan oleh mereka pun berkembang tidak cuma onde-onde, namun juga kue-kue basah, serta keripik. Onde-onde yang mulanya hanya dijual dengan titip ke kios di sekitar rumah mereka kini telah berkembang menjadi lebih luas. Selain kerap dipesan oleh warga kampung untuk hajatan, rapat dan pertemuan desa mereka, kini BP2KP Tuban pun telah menjadi pelanggannya. Bahkan BP2KP menebarkan promosi ke Kantor-kantor di Kabupaten Tuban. Singkatnya, penciptaan (demand driving) atas ubi jalar ungu yang dilakukan mulai menampakkan hasil.
Mulai berkembangnya usaha rumah tangga ini ternyata menghadapi masalah berupa tidak kontinyunya ketersediaan bahan baku onde-onde, yakni, ubi jalar ungu. Penyebaran pertanaman ubi jalar ungu saat ini memang baru terpusat di daerah-daerah wisata seperti Malang dan Bali. Varietas unggul nasional ubi jalar ungu baru akan dilepas pada tahun 2010.
Berkembangnya produk olahan dari umbi-umbian sebagai ladang pemberdayaan ekonomi produktif yang harus dikembangkan dan kesulitan bahan baku ini dilirik Suntomo dan pak Sholeh. Selain usul kepada pak Lurah agar setiap acara desanya kue yang dihidangkan adalah produk lokal berbasis umbi-umbian, juga menggandeng Gapoktan yang didukung oleh Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP/FEATI) untuk ikut mendorong usaha rumah tangga ini, khususnya bagaimana penyediaan bahan baku dapat diatasi.
Untuk itulah Suntomo, Mbak Dju, bu Buti, Pak Sholeh, dengan 30 kawan anggota Kelompok Wanita dari UP FMA Desa Sambungrejo, akhir Pebruari 2009 mengunjungi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur dan Balitkabi di Malang. Di Balitkabi mereka ditunjukkan beraneka varietas dan calon varietas ubi jalar, ubi kayu dan kacang-kacangan koleksi Balitkabi. Di Laboratorium Pangan Balitkabi mereka ditunjukkan peralatan-peralatan yang mendukung pengembangan usaha mereka. Selain mendapatkan buku-buku Teknologi Produksi Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Ubi Kayu dan Ubi Jalar, mereka pun membawa pulang dua ikat stek calon varietas ubi jalar ungu. Walaupun belum secara resmi dilepas oleh Menteri Pertanian, namun klon ubi jalar ungu tersebut dinilai sudah stabil dan bisa dikembangkan secara terbatas (dengan pengawasan).
Upaya keras Djuwariyah, Buti, Suntomo mulai mendapatkan perhatian. Selain produknya mulai dikenal dan order semakin bertambah, mereka pun mulai mengembangkan ubi jalar ungu di desa mereka. Bahkan untuk tahun 2009, FEATI memberikan anggaran 25 juta rupiah, yang sepertiganya dapat dimanfaatkan untuk pengadaan alat. Kini mereka harus bekerja lebih keras, selain melayani pesanan snack dari ubi jalar dan ubi kayu kepada pelanggannya, mereka juga harus menyiapkan pengembangan ubi jalar ungu untuk bahan baku produk olahan mereka. Bahkan Bupati Tuban berencana untuk melihat dari dekat kiprah warga di Sembungrejo.
Pengenalan varietas ubi jalar ungu dan pelatihan pengolahannya akhir tahun 2008 telah menjadi pemicu bagi berkembangnya sistem produksi dan pengolahan ubi jalar ungu di Kab Tuban. Permintaan sudah mulai terbentuk, kelembagaan pun menyambut dengan baik. Klon varietas unggul ubi jalar ungu pun sedang bersiap-siap untuk sidang pelepasan. Semoga tidak berkepanjangan agar sinergi yang sudah mulai terbentuk tidak hilang begitu saja. (fn/sh/ld) www.suaramedia.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar