Fluktuasi harga KOPI tidak terlepas dari perkembangan produksi KOPI dunia, terutama produksi KOPI dari Brazil sebagai produsen utama. Peningkatan harga KOPI
pada 1994 misalnya disebabkan karena penurunan ekspor dari Brazil
akibat terjadinya bencana kekeringan dan embus upas. Sedangkan tingginya
harga KOPI arabika pada 1997 karena terjadinya penurunan volume
ekspor dari beberapa negara pengekspor yang mengalami penurunan produksi
sebagai akibat bencana El Nino dan karena perkebunan KOPI di Brazil terkena embus upas dan kemudian bencana yang sama melanda pada 2000.
Kemudian pada 2001, harga semua jenis KOPI kembali menurun pada 2001 disebabkan oleh produksi KOPI di Brazil dan Vietnam (KOPI
robusta) mengalami peningkatan yang drastis sebagai dampak keberhasilan
program-program peningkatan produktivitas di kedua negara tersebut.
Disamping faktor lainnya, yaitu terjadinya permainan pembelian KOPI oleh perusahaan multinasional dalam jumlah yang besar di sentra-sentra produksi KOPI negara produsen, termasuk juga di Indonesia.
Selanjutnya sejak 2005, harga KOPI terus cenderung naik hingga Mei 2008. Pada 2005 tercatat rata-rata harga KOPI
sebesar 89,36 cent dollar per lb. Kemudian pada Mei 2008 telah mencapai
126,76 cent dolar per lb. Atau meningkat hingga 42%. Untuk KOPI
robusta yang paling banyak diproduksi oleh Indonesia, di bursa Yew York
pada Mei 2005 sebesar 58,66 cent dolar per lb, dan kemudian cenderung
terus meningkat dan mencapai 109,58 cent dolar per lb pada Mei 2008.
Atau naik sekitar dua kali lipat dalam periode tiga tahun (2005-2008).
Peningkatan harga KOPI asalan (KOPI biji) ini tampaknya berdampak positip terhadap harga KOPI olahan, baik KOPI disangrai (termasuk dalam bentuk bubuk), KOPI instan maupun dalam bentuk KOPI mix. Berdasarkan data impor KOPI dunia dari ITC menunjukkan bahwa dalam tujuh tahun terakhir, yakni periode 2001-2008, baik harga KOPI disangrai, instan dan KOPI mix terus meningkat.
Tren peningkatan harga tertingi dalam tujuh tahun adalah pada KOPI dengan HS 090122 dengan peningkatan 15.7% per tahun yakni dari US$ 3,50/kg menjadi US$ 6,88 perkg pada 2008, diikuti oleh KOPI
dengan HS 09121 sebesar 10,4% per tahun, yakni dari US$ 3,93 per kg
pada 2001 menjadi US$ 10.45 per kg pada 2008. Peningkatan harga KOPI
instant juga tidak kalah menarik yakni mencapai 7,2% per tahun, dari
US$ 5,51 per kg pada 2001 menjadi US$ 8,60 perkg pada 2008; dan
peningkatan KOPI mix mencapai 9,7% per tahun, dari US$ 2,55 per kg pada 2001 menjadi US$ 5,77 per kg pada 2008.
Biaya Produksi dan Transportasi
Secara head to head, kompetitor Indonesia dalam perdagangan KOPI biji dewasa ini adalah Vietnam, karena produksi Negara ini adalah KOPI robusta. Secara keseluruhan, di perdagangan KOPI
internasional Indonesia kalah bersaing harga dengan Negara ini. Dari
berbagai kajian menunjukkan bahwa kekalahan Indonesia dalam persaingan
harga KOPI ini disebabkan karena biaya produksi dan transportasi
di dalam negeri sendiri yang tergolong mahal. Dari sisi produksi, upaya
mengatasi kompetisi harga ini tidaklah mudah bagi Indonesia disebabkan
karena sebagian besar produsen KOPI Indonesia merupakan petani kecil, dibandingkan dengan perkebunan KOPI di Vietnam yang dikelola oleh Negara sehingga dalam pengelolaannya lebih efisien dibandingkan pengelolaan perkebunan KOPI skala kecil. Biaya produksi dan transportasi ini tentu saja berdampak pula
terhadap biaya produksi KOPI olahan, yang akan relatif lebih mahal pula.
Persyaratan Healthy Protect di Eropa
Di masyarakat Eropa dipersyaratkan healthy protect
(perlindungan kesehatan) dan eco-friendly cultivation (cara bercocok
tanam yang ramah lingkungan), termasuk produk KOPI. Isu kandungan ochratoxin khususnya Ochratoxin A (OTA) pada KOPI telah lama berhembus di Eropa, dan bahkan European Union menetapkan batas kandungan OTA pada KOPI, baik pada biji, bubuk maupun KOPI instan (soluble). Pada KOPI bubuk dan intan, jika tidak memenuhi persyaratan, maka biaya penolakan akan ditanggung sepenuhnya oleh eksportir.
Regulasi Keamanan Pangan
Memasuki pasar Eropa tidaklah mudah, karena akan
dihadapkan pada hambatan non tariff barier berupa ketatnya berbagai
regulasi yang terkait dengan keamanan pangan di kawasan tersebut, yang
salah satunya berdampak negatif terhadap ekonomi biaya tinggi sehingga
produk olahan dari Indonesia, termasuk KOPI olahan menjadi sulit bersaing di kawasan ini.
Beberapa kendala terkait dengan keamanan pangan
tersebut diantaranya biaya uji laboratorium dan sertifikasi produk yang
sangat besar serta ketatnya standar produk yang diberlakukan sejak 2002.
Untuk produk yang mengandung kafein diberlakukan aturan Food Label
& Food Safety, karena dianggap bahwa produk yang mengandung kafein
sangat berbahaya apabila dikonsumsi dalam jumlah besar dan akan
memberikan resiko yang buruk bagi kesehatan manusia. Walaupun kafein
telah masuk dalam daftar labeling suatu produk tetapi dalam jumlah besar
tidak ada pengecualian.
Peraturan ini diadopsi pada tanggal 18 Juli 2002 yang
sejalan dengan peraturan-peraturan pemerintah yang akan diterapkan
untuk minuman yang mengandung kafein 150 mg per liter. Peraturan ini
berlaku efektif sejak 1 Juli 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar